Jumat, 14 Desember 2012

Masjid Al-Osmani

Masjid Al-Osmani adalah sebuah masjid di Medan, Sumatera Utara. Masjid ini juga di kenal dengan sebutan Masjid Labuhan karena lokasinya yang berada di daerah Medan Labuhan. Masjid yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Medan. Masjid ini adalah masjid tertua di kota Medan.
Masjid Al-Osmani dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ketujuh, yakni Sultan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sultan Osman, yakni Sulthan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.
Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan utara. Di masjid ini juga terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam.

Arsitektural

Ketika pertama kali dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al-Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu.Pada tahun 1870, Sultan Deli VIII Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872.
Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.[2] Kombinasi arsitektur empat Negara itu misalnya pada pintu masjid berornamen China, ukiran bangunan bernuansa India, dan arsitektur bernuansa Eropa, dan ornamen-ornamennya bernuansa Timur Tengah. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton
Masjid Al-Osmani didominasi warna kuning, dengan warna kuning keemasan yang merupakan warna kebanggaan Suku Melayu, warna tersebut diartikan atau menunjukkan kemegahan dan kemuliaan. Kemudian dipadu dengan warna hijau yang filosofnya menunjukkan keislaman.

Referensi

  1. "Masjid Al-Osmani". 16 Juni 2012.
  2. "Menggali Kemegahan Arsitektur Mesjid Al-Osmani Bernuansa Empat Negara". 16 Juni 2012.

 


 

Masjid Agung Baiturrahim Singkil

Masjid Baiturrahim berada di Pusat Kota Singkil, Ibukota Kabupaten Aceh Singkil, merupakan Masjid pertama dan tertua. Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Jamik Baiturrahim yang dibangun di Singkil lama pada tahun 1256 H/1836 M, lalu dipindahkan ke Singkil Baru pada tahun 1909. Di masa Kolonial Belanda, masjid ini sempat direnovasi, lalu pada tahun 1953 diperluas. Semula masjid ini berukuran 17 x 17 m dengan satu kubah, setelah mengalami perluasan ukurannya menjadi 20 x 30 m dan ditambah satu kubah kecil di sebelah timur.
Gempa bumi dan gelombang pasang tanggal 28 maret 2005 telah menjadikan masjid ini mengalami keru-sakan berat. Untuk memperbaikinya pada tanggal 7 Mai 2005 telah dibentuk Panitia Pembangunan Masjid Baiturrahim yang bertugas untuk merehab masjid yang rusak agar bisa dipergunakan sekaligus merencanakan pem-bangunan masjid baru sebagai pengganti masjid yang rusak. Desain bangunan baru Masjid berukuran 37 x 37 m dengan 4 menara tinggi, 4 menara kecil dan satu kubah besar serta 4 Qubah kecil. Kubah besar dan atap serta ornamennya diupayakan mirip dengan masjid yang dibangun tahun 1909.
Periode Singkil Lama/Lost City (1512-1883)
Seorang ilmuwan berkebangsaan Portugis mencatat tentang kerajaan Chinguelle/Quinchell/Singkil yang berbatas di sebelah barat dengan kerajaan Mancopa/Daya/Meulaboh sedangkan sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Barus. Kerajaan ini merupakan penghasil kampher (kapur), damar, sutera, lada, dan emas yang diangkut dengan lencara (perahu) sebagai alat transportasi di sepanjang aliran sungai dan laut. Kala itu Raja Singkil masih menganut agama pelbegu (animisme).
Nama Singkil juga sudah ada di dalam peta Petrus Plancius tahun 1592 M (Monumenta Carthographico, jilid II), di mana kerajaan Singkil telah mengadakan perdagangan dengan kerajaan Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman, bahkan sampai ke Penang, Persia dan Jazirah Arab. Dari hubungan dagang ini, para pedagang Arab muslim membawa ajaran Islam yang mampu membuka mata hati dan pikiran Raja serta Rakyat Singkil untuk sedikit demi sedikit meninggalkan kepercayaan lama, beralih kepada ajaran yang lurus (Islam). Sedikit demi sedikit ajaran Islam berhasil mengikis habis kebiasaan orang Singkil pedalaman yang memakan daging manusia, terutama musuh.
Setelah Islam tersebar di seantero Kerajaan Singkil, baik pesisir maupun pedalaman, lahirlah kemudian tokoh-tokoh ulama dari kalangan anak negeri. Salah seorang ulama kelahiran Singkil adalah Abdurrauf (Syech Abdurrauf al-Singkili), lahir sekitar tahun 1615 di Suro (Singkil) dan meninggal tahun 1693. Islam dengan cepat menyebar sehingga mengubur dalam-dalam segala bentuk khurafat dan dogma yang menuhankan selain Allah Swt.
Seiring dengan pertumbuhan Islam, ketersediaan rumah ibadah pun menjadi tuntutan masyarakat. Pada tahun 1256 H/1836 M, Raja Singkil bersama rakyat membangun mesjid pertama di ibukota kerajaan Singkil (Singkil lama) dengan nama Masjid Jamik Baiturrahim. Konstruksinya dibangun dengan bahan kayu kapur, meranti laut, atap daun rumbia dan ijuk. Namun Informasi tentang masjid ini dalam catatan sejarah sangat sulit ditelusuri, apalagi Singkil lama sempat porak poranda di hantam gempa bumi dan tsunami (geloro laut) pada tahun 1883 M.
Peristiwa ini terjadi berbarengan dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang memporak porandakan segalanya. Dari itu kita hanya bisa berasumsi bahwa raja di Kerajaan Singkil telah mengadopsi sistem pemerintahan Islam sesuai perkembangan kala itu. Tentunya kenyataan ini meniscayakan dibangunnya sebuah masjid induk sebagai tempat beribadah dan kegiatan kemasyarakatan lainnya, baik yang bersifat keagamaan maupun agenda kerajaan.
Periode Singkil Baru (New Singkil, tahun 1883-sekarang)
Orang Singkil tidak patah arang menghadapi bencana, maka atas titah raja, secara berangsur-angsur penduduk Singkil hijrah ke daerah baru (Singkil sekarang/Pondok Barö). Di tempat yang baru ini mereka memulai kehidupan dengan moto: “Selagi esok matahari masih terbit kehidupan akan terus berlangsung”. Di pusat Kota Singkil ini (Singkil Baru), juga dibangun sebuah masjid dengan nama yang lama, Masjid Jamik Baiturrahim.
Kehidupan di Singkil mengalami perubahan dengan datangnya Kolonial Belanda yang menyebut Singkil sebagai New Singkil (Singkil baru). Di tengah kesibukan menata kehidupan baru pasca gempa bumi dan tsunami, rakyat Singkil dihadapkan kepada tantangan invasi penjajahan. Setelah berhasil menguasai daratan Singkil, Belanda dengan kontrolir yang bernama Inggram, menguras hasil bumi Singkil dengan jalan kekerasan di bawah kepulan asap mesiu. Selain itu, masyarakat Singkil juga menghadapi tantangan pendangkalan akidah oleh misionaris dengan iming-iming kekayaan dan jabatan.
Masih dalam masa penjajahan Belanda, pada tahun 1328 H/1909 M, atas gagasan Perkasa Raja Singkil, Datuk Abdurrauf bersama rakyat membangun masjid yang lebih besar, menggantikan masjid lama yang tidak memadai lagi menampung jamaah. Masjid tersebut dibangun di sebelah timur rumah datuk dengan konstruksi bangunan dari kayu kapur, rasak, meranti, beratap seng, dan lantai beton. Masjid ini telah menggunakan kubah sebagai bagiannya, untuk menopang kubah, ditengah masjid didirikan sebuah tiang beton.
Arsitektur masjid, dekorasi, serta ornamen interior dan eksterior dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi berciri disain Timur Tengah dan Melayu Kuno. Bersamaan dengan pembangunan masjid dibangun pula sebuah sumur bor di perkarangan masjid untuk kebutuhan bersuci. Sampai saat ini sumur bor tersebut masih berfungsi dengan baik walau sudah berusia lebih dari 100 tahun.
Untuk melindungi rakyat dan Islam serta masjid yang ada, Datuk Besar Singkil memainkan peran politiknya. Dalam hal perdagangan dan pemerintahan, ia bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial Belanda di bawah bendera VOC, namun dalam hal urusan keagamaan, beliau meneguhkan prinsip saling menghargai satu sama lain. Syarat yang ditawarkan antara lain Pemerintah Kolonial Belanda dibolehkan membangun sarana dan fasilitas yang mereka butuhkan secara bebas, tapi konpensasinya, tidak boleh membangun fasilitas rumah ibadah (gereja). Maka dibangunlah tangsi (barak militer), pelabuhan, rumah sakit, sarana telepon, dan fasilitas lainnya termasuk kantor pos yang megah di kawasan perkantoran pemerintah yang menghadap ke laut.
Butir lain yang ditawarkan untuk disepakati Pemerintah Kolonial Belanda adalah kebebasan beragama. Rakyat Singkil harus diberikan kebebasan melaksanakan kegiatan keagamaan, baik ibadah maupun bersifat kemasyarakatan di masjid tanpa ada intervensi dan intimidasi dari pihak Pemerintah Belanda. Oleh karena itu, keberadaan masjid ini sebagai pusat kegiatan masyarakat tidak terusik sepanjang keberadaannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid ini telah mampu memberikan spirit kepada masyarakat Singkil dalam membangun negerinya, upaya melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakadilan. Lebih dari itu, secara diam-diam masjid ini telah dipergunakan untuk mengatur strategi melawan penjajah.
Pada saat kepemimpinan Datuk Abdul Murad, putra Datuk Abdurrauf, kepengurusan Masjid Jamik Baiturrahim dipimpin oleh H. Abdul Malik (Imam Pulo Pinang) sebagai imam, dan H. Umar sebagai khatib. Pada tahun 1942, saat Kepala Nagari dijabat oleh Aminuddin Sagu, kepengurusan masjid ini dipimpin oleh Imam Abdullah dengan dibantu oleh Imam Ilyas. Adapun jabatan khatib masjid dijabat oleh Khatib Ahmad.
Di era kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Singkil telah mengalami beberapa kali perubahan status, mulai dari kewedanaan hingga kabupaten. Namun status dan fungsi Masjid Baiturrahim tidak pernah berubah. Masjid ini tetap berfungsi sebagai masjid pemerintahan yang sangat berjasa dalam melahirkan dan mengisi pembangunan di negeri yang diberi nama Aceh Singkil ini.
Pada tahun 1968, jabatan imam Masjid Baiturrahim dipegang oleh Imam Syahmuddin, Khatib Ahmad, dan Bilal M. Amin. Sewaktu Khatib Ahmad meninggal, jabatan khatib diganti oleh M. Amin, dan jabatan bilal dipegang oleh Bilal Badaruddin. Pada tahun 1994, Imam Syahmuddin meninggal dunia, lalu digantikan oleh Imam Badri Amin, adapun khatib dijabat oleh Khatib Abd. Salam AK. Sementara itu jabatan nazir masjid dari dulu sampai sekarang yang diketahui adalah tokoh berikut:
  • M. Ya’kub
  • M. Yahya
  • Akmal Bakti
  • M. Rabet
  • M. Bahar
  • Abd Halim
  • Amiruddin. S
Sumber : Buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh, diterbitkan oleh Bidang Penamas Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh, 2009

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue

Masjid Baiturrahim adalah salah satu masjid bersejarah di provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang berlokasi di Ulee Lheue, kecamatan Meuraksa, Banda Aceh ini merupakan peninggalan Sultan Aceh pada abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.
Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan rekonstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan. Pada 1922 masjid dibangun dengan material permanen oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan gaya arsitektur Eropa. Namun masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja.
Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1983 Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa. Sepuluh tahun kemudian, dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan pascagempa 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya.
Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim. Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja sehingga masyarakat Aceh sangat mengagumi masjid ini sebagai simbol kebesaran Tuhan.

Referensi

  1. Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Dua Babak Bencana dan Jejak Aceh Masa Silam. Atjeh Post. Diakses pada 23 Juli 2012
  2. Mesjid Baiturrahim,Ulee Lheue. www.antara-aceh.com. Diakses pada 23 Juli 2012

 

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh

Masjid Agung Baitul Makmur adalah masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai barat Kabupaten Aceh Barat, provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang terletak di Desa Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan ini memiliki arsitektur antara perpaduan Timur Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid. Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasat mata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia.
Kombinasi antara keluasaan bangunan dan keindahan arsitektur yang membentuk satu struktur kemegahan telah menjadikan Masjid Agung Baitul Makmur masuk ke dalam 100 Masjid Terindah di Indonesia, sebuah buku yang disusun oleh Teddy Tjokrosaputro & Aryananda yang diterbitkan oleh PT Andalan Media, Agustus 2011 setebal 209 halaman.

Arsitektur

Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh tampak sangat menonjol dengan gaya arsitektur perpaduan Timur Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid.
Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid ini akan dilengkapi dua menara baru yang hingga tulisan ini diturunkan masih dalam tahap penyelesaian. Menara tersebut akan membuat masjid terlihat semakin megah dan dapat berfungsi sebagai landmark wilayah setempat.
Pintu gerbang masjid pun merupakan keistimewaan tersendiri. Gerbang yang berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari masjid ini terlihat sangat anggun. Gerbang ini seakan-akan menegaskan bahwa siapa pun yang memasuki gerbang akan menjumpai pemandangan yang sangat indah.
Di dalam masjid terlihat dua konsep ruang yang berbeda. Pertama, pengunjung disambut oleh ruangan yang memiliki banyak tiang penyangga lantai dua sebagai mezzanine. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias tepat di tengahnya.
Inspirasi gaya arsitektur Timur Tengah juga terlihat dari bentuk mihrab. Mihrab yang terlihat sangat indah ini didominasi warna cokelat dan nuansa keemasan khas material perunggu dengan ornamen khas Islam. Kesan mewah dan sejuk langsung terasa saat menatapnya.

Referensi

  1. Masjid Agung Baitul Makmur. www.duniamasjid.com. Diakses pada 23 Juli 2012
  2. Masjid Agung Meulaboh Masuk 100 Masjid Terindah. www.aceh.tribunnews.com. Diakses pada 23 Juli 2012
  3. Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh Termasuk 100 Masjid Terindah. www.acehbarat.com. Diakses pada 23 Juli 2012

 


 

Masjid Raya Baiturrahman


Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh.
Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya.
Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968). Mesjid ini kemudian telah diperluas dan saat ini memiliki 7 kubah.
Masjid ini merupakan salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan masjid tersebut.

Masjid dan Indonesia

Islam dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Islam merupakan salah satu agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan pemeluk Islam terbesar di Dunia.
Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam. di Indonesia banyak sekali masjid. oleh sebab itu, blog ini akan mendata dan menerangkan mengenai sejarah dan kegiatan yang diadakan dimasjid tersebut. Sehingga masyarakat tau bahwa masjid merupakan rumah Allah yang harus sama-sama kita muliyakan.